Ditulis oleh Tim Konten Medis
Pada tahun 2001-2003 data National Comorbidity Survey Replication (NCS-R) menunjukkan bahwa 1,5% orang dewasa di AS memiliki gangguan depresi persisten pada usia lebih dari 18 tahun. Pada tahun yang sama, prevalensi gangguan depresi persisten pada wanita (1,9%) lebih tinggi dibandingkan pria (1,0%). Diperkirakan 49,7% orang dengan gangguan depresi persisten memiliki gangguan serius, 32,1% memiliki gangguan sedang, dan 18,2% memiliki gangguan ringan. Lalu, seberapa bahaya depresi persisten pada seseorang?
Depresi persisten lebih cocok dijelaskan sebagai gangguan psikotik non-suasana hati.
Baca Juga: Tanda-Tanda Depresi yang Mengejutkan
Gangguan Depresi Persisten
Gangguan depresi persisten atau biasa dikenal sebagai distimia, dalam DSM-V. Kemunculan depresi persisten sering ditandai dengan gangguan depresi berat kronis dan bertahan lebih lama dibandingkan depresi mayor. Gangguan depresi persisten dapat timbul akibat kombinasi gejala depresi lainnya selama lebih dari dua tahun. Pada awalnya, penyakit depresi persisten dianggap sebagai suatu keadaan tertekan dan merupakan penyakit medis, bukan gangguan kepribadian.
Kondisi ini sulit untuk dipahami dan diklasifikasikan, karena sifat nosologinya yang rumit serta terus berkembang. Perkembangan gangguan ini terlihat dari diagnosis awal penyakit yang tergolong dalam DSM-II kemudian menjadi DSM-III. Diketahui pula, bahwa asal usul kata distimia sendiri diambil dari bahasa Yunani yang mengacu pada psikiatri CF Fleming sekitar tahun 1844.
Baca Juga: Depresi dan Kecemasan: Gangguan Kesehatan Mental yang Perlu Kita Waspadai
Kriteria Depresi Persisten
Kriteria depresi persisten yang umum dialami adalah munculnya perubahan suasana hati, perubahan nafsu makan, insomnia, mudah merasa lelah, tingkat percaya diri rendah, dan sering merasa putus asa. Kriteria gejala yang muncul disebabkan oleh banyak faktor pemicu. Faktor pemicu gangguan mental ini adalah hubungan interpersonal yang kurang baik, tingkah laku buruk, kognitif dan emosional tidak stabil, lingkungan, dan faktor biologis.
Kriteria gejala yang ditimbulkan setidaknya bertahan dan berkembang selama lebih dari 1-2 tahun. Penderita cenderung tidak memiliki riwayat mania atau hipomania. Depresi persisten lebih cocok dijelaskan sebagai gangguan psikotik non-suasana hati. Gangguan depresi persisten tidak ditimbulkan karena efek fisiologis suatu zat atau kondisi medis lainnya.
Perubahan nafsu makan akibat depresi juga dapat menyebabkan obesitas.
Baca Juga: Mengatasi Stres Karena Sekolah
Bahaya Depresi Persisten
Bahaya yang ada, munculnya pemikiran melukai diri sendiri atau bahkan bunuh diri. Penderita merasakan gangguan yang sangat nyata pada dirinya. Penderita gangguan ini yang tidak segera diobati akan mengalami beberapa hal berikut:
- Kerusakan kardiovaskular
Sebuah penelitian menemukan bahwa seorang penderita depresi persisten akan lebih rentan mengalami kerusakan kardiovaskular. Mereka akan lebih tinggi memiliki risiko terkena serangan jantung dan masalah medis lainnya. Penyakit yang mereka derita akan jauh lebih sulit untuk pulih dibandingkan penderita lainnya. - Kekurangan gizi
Depresi seringkali dapat menyebabkan perubahan nafsu makan. Penderita depresi persisten mungkin akan merasa sulit untuk makan apa pun, atau mungkin makan terlalu banyak makanan yang salah. Jika pola makan seseorang tidak konsisten baik dari segi nutrisi maupun jadwal akan sangat mudah untuk mengalami kekurangan gizi dari waktu ke waktu. - Obesitas
Perubahan nafsu makan akibat depresi juga dapat menyebabkan obesitas. Depresi persisten dapat menyebabkan perilaku makan yang tidak memadai dan dapat menyebabkan orang menambah berat badan dalam jumlah besar. Penggunaan antidepresan jangka panjang dapat memicu penambahan berat badan. Olahraga teratur menjadi salah satu solusi untuk penderita depresi. Hal ini dapat meningkatkan kesehatan secara holistik. - Isolasi sosial
Banyak orang yang mengalami depresi persisten melaporkan bahwa mereka kehilangan minat pada aktivitas dan hal-hal yang pernah mereka nikmati. Kurangnya minat maupun kurangnya energi dapat berkontribusi pada ketidaktertarikan untuk pergi ke acara sosial. Penderita akan merasa bosan berbicara dengan teman-teman yang selalu menanyakan apa hal terkait cerita hidupnya, sehingga penderita memutuskan untuk tidak menjalin hubungan sosial lagi. Tetapi, ada strategi yang sehat dan efektif untuk melawan jenis pemikiran ini, termasuk menjangkau profesional kesehatan mental. - Kinerja di tempat kerja
Kinerja penderita depresi persisten sering terganggu. Banyak penelitian menunjukkan bahwa kinerja penderita depresi di tempat kerja sering menurun secara signifikan. Hal ini secara tidak langsung juga akan berdampak secara finansial bagi penderita. Sesi terapi dapat membantu penderita menangani depresi yang dideritanya. Kinerja penderita juga akan meningkat dengan beberapa minggu sesi perawatan tersebut.
Bahaya kondisi ini juga dapat dikaitkan dengan adanya komplikasi penyalahgunaan zat, kualitas hidup yang rendah, gangguan psikologis lainnya, penyakit medis yang kronis, disabilitas, kurangnya dukungan sosial, dan lebih responsif terhadap stress. Menurut DSM-V, efek dari depresi persisten pada fungsi setiap individu dapat bervariasi dan cenderung lebih parah dibandingkan gangguan depresi mayor.
Gangguan ini lebih dikenal sebagai distimia merupakan penyakit psikologis yang dapat ditimbulkan akibat banyak faktor. Faktor-faktor tersebut adalah hubungan interpersonal, tingkah laku, kognitif, emosional, lingkungan, dan faktor biologis. Bahaya depresi persisten atau distimia ini dapat sampai menimbulkan sikap atau perilaku ingin bunuh diri.
Gangguan ini dapat menyerang tidak hanya pada orang dewasa, tetapi juga pada anak-anak dan remaja. Ada beberapa pengobatan yang dapat dilakukan, yaitu psikoterapi, farmakoterapi, dan terapi kombinasi. Namun, tidak semua jenis pengobatan cocok pada penderita, sebab itu diperlukan berbagai jenis pertimbangan. Penderita depresi persisten cenderung membawa gangguan ini selama lebih dari 2 tahun.
Telah direview oleh dr. Sony Prabowo
Source:
- Gangguan Depresi Persisten
- Efek Jangka Panjang Depresi
- Schramm, E., Klein, D. N., Elsaesser, M., Furukawa, T. A., & Domschke, K. (2020). Review of dysthymia and persistent depressive disorder: history, correlates, and clinical implications. The Lancet Psychiatry, 7(9), 801–812. doi:10.1016/s2215-0366(20)30099-7