Ditulis oleh Tim Konten Medis
Lingkungan yang bising dapat terjadi di mana saja, baik itu di rumah, di tempat kerja, maupun di tempat umum. Bising dapat dikatakan sebagai bunyi yang tidak diinginkan, tidak disukai, dan mengganggu. Dilihat dari sudut pandang obyektif bising merupakan getaran bunyi kompleks yang terdiri atas frekuensi dan amplitudo, baik yang getarannya bersifat periodik maupun nonperiodik. Lantas, apa dampak kebisingan bagi kesehatan manusia? Cek ulasan berikut!
Pemeriksaan audiometri pada pekerja yang terpajan bising perlu dilakukan secara berkala.
Menurut Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 5 tahun 2018 tentang Keselamatan, Kesehatan, dan Lingkungan Kerja, kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan/atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran.
Baca Juga: Trauma Center untuk Keselamatan Kerja
Apa Dampak Kebisingan Bagi Kesehatan Manusia?
Kebisingan menyebabkan berbagai gangguan pada tubuh manusia. Dampak kebisingan bagi kesehatan umumnya meliputi:
- Gangguan fisiologi:
Meningkatkan tekanan darah, denyut nadi, metabolisme basal, dan ketegangan otot (peningkatan rangsang system saraf otonom)
- Gangguan komunikasi:
Masking effect (pekerja harus berteriak dalam berkomunikasi selama kerja, sehingga meningkatkan risiko kecelakaan kerja)
- Gangguan keseimbangan:
Rasa melayang, pusing, mual
- Gangguan psikologi:
Stres, lelah, gangguan emosional, gangguan komunikasi dan konsentrasi
- Efek pada pendengaran:
- Peningkatan ambang dengar sementara atau Temporary Threshold Shift (TTS)
- Peningkatan ambang dengar permanen atau Permanent Threshold Shift (PTS)
- Tuli Akibat Bising atau Noise Induced Hearing Loss (NIHL)
Baca Juga: Rumah Sakit Trauma Center
Faktor Utama Kebisingan
Setelah mengetahui dampak kebisingan bagi kesehatan, ketahui juga faktor yang memengaruhinya. Faktor utama kebisingan yang menentukan tingkat bahaya bagi pendengaran, yaitu:
- Intensitas atau amplitudo kebisingan
- Frekuensi kebisingan
- Lama pajanan bising per hari
- Masa/periode waktu terpajan bising (tahun)
Macam-macam kebisingan yang dapat menyebabkan masalah pendengaran:
- Bising kontinu berspektrum luas dan menetap (steady wide band noise) dengan batas amplitudo kurang lebih 5 dB untuk periode waktu 0,5 detik berturut-turut. Contohnya: suara mesin, suara kipas angin, dll.
- Bising kontinu dapat juga berspektrum sempit dan menetap (steady narrow band noise). Bising ini relatif tetap, akan tetapi ia hanya memiliki frekuensi tertentu saja (misalkan pada frekuensi 500, 1000, dan 4000 Hz). Contohnya: bunyi gergaji sirkuler, bunyi katup gas, dll.
- Bising terputus-putus (intermitten noise), yaitu bising yang tidak berlangsung terus menerus, melainkan ada periode relatif berkurang, Contohnya: bunyi pesawat terbang dan bunyi kendaraan yang lalu lintas di jalan.
- Bunyi karena hantaman kurang dari 0,1 detik (impact noise) atau bunyi hantaman berulang (repeated impact noise)
- Bising yang berasal dari ledakan tunggal (explosive noise) memiliki perubahan tekanan bunyi melebihi 40 dB dalam waktu sangat cepat dan biasanya mengejutkan pendengarnya. Contohnya: suara tembakan, ledakan mercon, meriam, dll.
- Jenis bising lainnya, seperti ledakan berulang (repeated explosive noise). Contohnya mesin tempa di perusahaan. Bising dapat terdengar datar atau berfluktuasi.
Apakah yang Dimaksud Dengan Tuli Akibat Bising?
Tuli Akibat Bising atau Noise-Induced Hearing Loss adalah gangguan pendengaran akibat terkena paparan suara yang terlalu keras (misalnya ledakan bom, suara mesin jet), atau karena pajanan suara bising di tempat kerja. Gangguan pendengaran yang sudah ditegakkan diagnosisnya sebagai penyakit akibat kerja disebut sebagai Tuli Sensorineural Akibat Bising di Tempat Kerja atau Occupational Hearing Loss, dan ini termasuk salah satu jenis penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh faktor fisika menurut Peraturan Presiden RI No. 7 tahun 2019.
Tidak semua kasus tuli Akibat Bising disebabkan oleh faktor pekerjaan. Gangguan pendengaran akibat kebisingan dapat pula disebabkan oleh faktor kebiasaan atau hobi seseorang, contohnya kebiasaan mendengarkan musik dengan volume yang keras, mengikuti acara konser atau pertandingan olahraga, menggunakan earphone/headphone terlalu lama sewaktu mengikuti webinar, atau menyetel volume yang terlalu keras pada waktu berbicara lewat HP. Bertempat tinggal dekat dengan bandara, rel kereta api, pangkalan militer, atau kawasan industri juga merupakan faktor risiko terjadinya Tuli Akibat Bising.
Apa Saja Penyebab Gangguan Pendengaran Akibat Kebisingan?
Mengingat bahaya dampak kebisingan bagi kesehatan. Pendengaran dapat memburuk secara perlahan jika disebabkan oleh pajanan bising yang diterima dalam jangka waktu lama dan berulang, meskipun intensitas bunyi masih sedikit di bawah (atau justru melewati) Nilai Ambang Batas. Gangguan pendengaran akibat bising kontinu atau intermitten timbul dalam waktu 10 tahun setelah pajanan. Risiko Tuli Akibat Bising meningkat secara signifikan pada kebisingan di atas 85 desibel (dB).
Pemerintah lewat Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 5 tahun 2018 menetapkan Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan adalah sebesar 85 desibel (dB) untuk lama pajanan 8 jam kerja sehari atau 40 jam per minggu. Dengan kata lain, Tuli Akibat Bising yang layak disebut sebagai penyakit akibat kerja disebabkan oleh pajanan kebisingan yang bersifat kronis.
Namun tidak jarang pada kasus-kasus kecelakaan di tempat kerja di mana terjadi kebakaran yang disertai ledakan (sangat mungkin terjadi di suatu pabrik bahan kimia), terjadi paparan kebisingan yang sifatnya mendadak dan mempunyai intensitas sangat tinggi (umumnya di atas 120 dB), sehingga menyebabkan kerusakan mendadak pada sistem pendengaran manusia. Jenis Tuli Akibat Bising yang disebabkan oleh karena paparan kebisingan yang bersifat akut lebih tepat dilaporkan kasusnya sebagai suatu Kecelakaan Kerja, dan umumnya didiagnosis sebagai Trauma Akustik.
Suara yang terlalu keras, baik bersifat kronis maupun akut, mampu merusak sel-sel organ pendengaran yang halus, dan menyebabkan cedera permanen atau kematian sel. Jika telah terjadi kerusakan permanen, maka gangguan pendengaran tidak dapat dipulihkan kembali. Akibatnya penderita gangguan pendengaran harus menggunakan alat bantu dengar untuk dapat mendengar dengan baik.
Perbedaan Tuli Akibat Kebisingan Pekerjaan dan Bukan Disebabkan Pekerjaan
Bagaimana membedakan antara tuli akibat bising yang disebabkan oleh pekerjaan atau yang bukan disebabkan oleh pekerjaan? Dari pemeriksaan fungsi pendengaran yang disebut audiometri, dapat dibedakan antara tuli akibat bising yang disebabkan oleh pekerjaan dan yang bukan disebabkan oleh pekerjaan. Tuli akibat bising yang disebabkan oleh pekerjaan selalu bersifat sensorineural, yang artinya terjadi kerusakan pada sistem saraf sensorik pendengaran, dan umumnya terjadi pada kedua telinga sekaligus.
Penegakan diagnosis penyakit akibat kerja pada kasus Tuli Akibat Bising perlu dilakukan oleh dokter atau dokter spesialis yang mempunyai kompetensi di bidang kesehatan kerja, contohnya dokter perusahaan atau dokter spesialis kedokteran okupasi yang berpraktek di sebuah rumah sakit.
Penegakan diagnosis penyakit akibat kerja seharusnya menggunakan pendekatan 7 Langkah Diagnosis Okupasi sesuai Peraturan Menteri Kesehatan No. 56 tahun 2016. Setelah dilakukan penegakan diagnosis penyakit akibat kerja, barulah kemudian kasusnya dilaporkan kepada dinas ketenagakerjaan setempat dan BPJS Ketenagakerjaan untuk mendapatkan tata laksana yang tepat, sehingga hak-hak pekerja terpenuhi.
Pekerja Mana Saja Yang Rentan Terkena Tuli Sensorineural Akibat Bising di Tempat Kerja?
- Pekerja bagian produksi (operator mesin produksi, operator packing, operator warehouse, dll.), terutama yang bekerja di dekat mesin atau peralatan yang mengeluarkan suara bising (termasuk generator listrik)
- Petani atau pekerja perkebunan yang mempergunakan mesin atau kendaraan yang mengeluarkan suara bising
- Penebang pohon dan penggergaji kayu
- Pekerja di bidang konstruksi dan pertukangan (tukang bangunan, tukang kayu, tukang batu, dll.)
- Pengendara alat/kendaraan berat (truk, crane, forklift, excavator, loader, bulldozer, dumptruck, dll.)
- Pekerja di pengeboran minyak atau kilang minyak
- Pekerja tambang batu bara (atau mineral lainnya)
- Mekanik di bengkel otomotif
- Petugas maintenance generator listrik
- Anak buah kapal bagian mesin
- Pekerja ruang mesin kompresor tekanan hiperbarik
- Teknisi pesawat
- Pilot helikopter
- Pekerja di landasan pesawat
- Tenaga kesehatan/medis evakuasi medis udara
- Pekerja di bagian penempaan besi atau logam lainnya
- Personil militer dan kepolisian yang menggunakan senjata api
- Pekerjaan lainnya yang terpapar kebisingan intensitas tinggi
- Pekerja berusia lanjut: pekerja yang berusia lanjut lebih rentan terhadap kejadian Tuli Akibat Bising dibandingkan pekerja usia muda. Di samping itu, pada pekerja yang berusia lanjut, efek dari kebisingan akan lebih sulit untuk dibedakan dari presbiakusis (tuli pada lansia) tanpa hasil audiogram pra kerja.
Tuli akibat paparan kebisingan yang bersifat akut disebut sebagai suatu Kecelakaan Kerja.
Bagaimana Mencegah Tuli Akibat Bising di Tempat Kerja?
Pada lingkungan kerja yang bising diperlukan Program Konservasi Pendengaran (PKP) atau Hearing Conservation Program. PKP merupakan program yang diterapkan di lingkungan tempat kerja untuk mencegah gangguan pendengaran akibat terpajan kebisingan pada pekerja.
Adapun tujuh program PKP meliputi:
- Identifikasi dan analisis sumber bising
- Kontrol kebisingan secara teknis dan/atau administrasi
- Tes audiometri berkala
- Alat pelindung diri
- Komunikasi, informasi, motivasi dan edukasi pekerja
- Pencatatan dan pelaporan data
- Evaluasi program
Identifikasi dan analisis sumber bising pada lingkungan kerja secara sederhana dapat menggunakan alat sound level meter (SLM). Pada pekerja yang jelas-jelas terpajan kebisingan dapat dilakukan pemeriksaan dengan noise dosimeter.
Sebelum melakukan kontrol kebisingan dan kontrol administrasi, sebaiknya dibuat terlebih dahulu “peta kebisingan”, misalnya dengan memberi warna pada gambar denah ruangan sesuai dengan intensitas, misalnya warna hijau <80 dB, kuning 80-85 dB, jingga 85–88 dB, merah muda 88-91 dB, merah 91-94 dB, dan merah tua >94 dB. Cara mengontrol kebisingan secara teknis misalnya: mengganti mesin yang tingkat kebisingannya tinggi, membuat ruang kontrol agar dapat dipergunakan untuk mengontrol pekerjaan dari ruang terpisah, dan meredam sumber bising dengan:
- Melakukan isolasi sumber bising dengan menggunakan sound box, sound enclosure,
- Pembatasan transmisi sumber bising (sound barrier: sound proof materials),
- Memperbaiki disain akustik dengan penggunaan sound absorbent materials pada dinding dan langit-langit.
Sedangkan cara mengontrol kebisingan secara administrasi adalah dengan merotasi tempat kerja, memperbesar jarak sumber bising dengan pekerjaan, mengatur sistem produksi dengan cara menghindari penggunaan alat yang mengeluarkan bising yang konstan, mengatur waktu operasi mesin, mengecilkan atau mengurangi volume, mengurangi lalu lalang pekerja di area bising, menggunakan kontrol dan monitor kebisingan secara berkala, dan melaksanakan pelatihan dan sosialisasi PKP untuk menjelaskan fungsi pendengaran dan mekanisme perlindungannya.
Pemeriksaan audiometri berkala pada pekerja yang terpajan bising perlu dilakukan secara berkala. Audiometri adalah pemeriksaan fungsi pendengaran, menggunakan audiometer nada murni karena mudah diukur, mudah diterangkan kepada pekerja yang diperiksa, dan mudah dioperasikan. Terdapat tiga syarat untuk keabsahan pemeriksaan audiometri, yaitu alat audiometer yang baik, lingkungan pemeriksaan yang tenang (< 40 dB), dan diperlukan keterampilan pemeriksa yang cukup handal.
Di samping itu, orang yang diperiksa harus kooperatif, tidak sedang sakit, mengerti instruksi, dapat mendengarkan bunyi di telinga, dan sebaiknya bebas pajanan bising sebelumnya minimal 12-14 jam, serta alat audiometer terkalibrasi secara berkala. Pekerja yang menunjukkan adanya kelainan pada pemeriksaan audiometri perlu dilakukan pemeriksaan ulang 6 bulan kemudian.
Penggunaan alat pelindung pendengaran dapat membantu mengurangi jumlah energi akustik pada mekanisme pendengaran. Saat ini, terdapat tiga jenis alat pelindung pendengaran yang banyak ditemui di pasaran, yaitu earplugs, earmuffs dan helmet. Penggunaan jenis-jenis alat pelindung pendengaran harus dilakukan secara tepat, dan perlu dilakukan pelatihan kepada para pekerja sebelum penggunaan alat-alat tersebut secara luas.
Komunikasi, informasi, motivasi dan edukasi dilakukan dengan cara memberikan latihan dan pendidikan kesehatan dan keselamatan kerja, khususnya tentang kebisingan dan pengaruhnya. Hal ini sebaiknya diberikan tidak saja pada para pekerjanya tetapi juga pada pimpinan perusahaan. Diharapkan dengan adanya motivasi dan edukasi mengenai dampak kebisingan memberi pengetahuan dan memotivasi agar program pencegahan gangguan pendengaran menjadi kebutuhan dan bukan paksaan, serta menyadari bahwa pemeliharaan dan pencegahan lebih penting daripada kompensasi.
Pencatatan dan pelaporan data, termasuk hasil survey intensitas bising di lingkungan kerja dan pelaporan kasus Tuli Akibat Bising yang merupakan penyakit akibat kerja perlu dilakukan. Tujuannya agar dapat mengendalikan dampak buruk akibat kebisingan di tempat kerja dan memberikan kepada pekerja apa yang menjadi haknya.
Evaluasi Program Konservasi Pendengaran dinilai dari beberapa parameter, misalnya dalam hal indeks kepatuhan pelaksanaan program, keberhasilan mengendalikan tingkat kebisingan di lingkungan kerja pada “peta kebisingan”, monitoring pemeriksaan audiometri dan follow up-nya, serta pencatatan dan pelaporan kasus Tuli Sensorineural Akibat Bising di Tempat Kerja yang dilakukan oleh dokter yang berkompeten di bidang kesehatan kerja, dalam hal ini dokter perusahaan atau dokter spesialis kedokteran okupasi yang berpraktek di suatu rumah sakit.
Penulis dan reviewer: dr. David R. Wibowo, Sp.OK
Source:
- Program Konservasi Pendengaran pada Pekerja yang Terpajan Bising Industri
- Wibowo DR, Puspitasari A, Sampekalo P. Pedoman Klasifikasi Diagnosis Penyakit Akibat Kerja. Cetakan Pertama. Jakarta: Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia; 2021.
- Soemarko D, Sulistomo A, Wibowo S. Pedoman klinis diagnosis dan tatalaksana kasus penyakit akibat kerja. Cetakan Pertama. Jakarta: Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia; 2017.