Ditulis oleh Tim Konten Medis
Epilepsi adalah gangguan pada sistem saraf muncul dengan kejang berulang akibat aktivitas listrik otak yang tidak normal. Untuk mendiagnosis epilepsi, dokter biasanya melakukan pemeriksaan seperti EEG, tes darah, CT scan, atau MRI.

Penyakit epilepsi muncul dengan gejala utama berupa kejang berulang yang bisa disertai hilangnya kesadaran, perubahan perilaku, atau gerakan tubuh tak terkendali. Kondisi ini dapat karena berbagai faktor, seperti cedera kepala, infeksi otak, kelainan genetik, hingga gangguan pada perkembangan saraf.
Jika tidak tertangani dengan tepat, epilepsi bisa membahayakan penderitanya karena serangan dapat muncul tiba-tiba dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Oleh karena itu, penanganan medis sangat penting agar gejala dapat terkontrol dan kualitas hidup pasien tetap terjaga.
Apa Itu Epilepsi?
Secara konseptual, epilepsi adalah gangguan pada sistem saraf pusat otak (neurologis) yang menyebabkan masalah pada aspek neurobiologis, kongnitif, psikologis, dan sosial. Sedangkan secara praktis epilepsi dapat diartikan penyakit neurologi (otak) yang memiliki ciri-ciri khusus antara lain:
- Adanya kejang yang terjadi sedikitnya 2 kali tanpa provokasi hingga berganti hari atau berselang lebih dari 24 jam.
- Adanya risiko pengulangan perkara 2 bangkitan tanpa adanya kehendak yang muncul selama 10 tahun ke depan.
- Dapat ditengakkannya diagnosis sindrom epilepsi.
Baca Juga: Inilah 7 Penyebab Epilepsi Kambuh dan Cara Mencegahnya
Pemeriksaan untuk Mendiagnosis Epilepsi
Untuk memastikan seseorang benar-benar mengalami epilepsi, dokter akan melakukan beberapa jenis pemeriksaan medis. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui penyebab kejang dan bagian otak yang terlibat sehingga pengobatan bisa lebih tepat.
1. Tes Radiologi
Pemeriksaan radiologi membantu dokter melihat struktur dan fungsi otak secara lebih detail. Dari hasilnya, dapat dokter ketahui apakah ada kelainan yang memicu kejang.
- CT Scan (Computerized Tomography): CT scan menggunakan sinar-X untuk menghasilkan gambar potongan otak. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya tumor, perdarahan, atau kista yang mungkin memicu epilepsi.
- MRI (Magnetic Resonance Imaging): MRI memakai medan magnet dan gelombang radio untuk menghasilkan gambar otak yang lebih jelas daripada CT scan. Tes ini membantu melihat struktur otak secara detail guna menemukan penyebab kejang.
- fMRI (Functional MRI): fMRI untuk memantau perubahan aliran darah di otak saat bagian tertentu bekerja. Tes ini biasanya sebelum operasi untuk mengetahui lokasi penting, seperti area bicara atau gerakan, agar tidak terganggu saat tindakan.
- PET Scan (Positron Emission Tomography): PET scan menggunakan zat radioaktif dosis rendah yang disuntikkan ke pembuluh darah untuk memantau aktivitas metabolisme otak. Area otak dengan metabolisme rendah bisa menunjukkan sumber kejang.
- SPECT (Single-Photon Emission Computed Tomography): SPECT dokter lakukan bila MRI dan EEG belum bisa menemukan lokasi awal kejang. Dengan menyuntikkan zat radioaktif dosis rendah, SPECT membuat peta aliran darah 3D di otak saat kejang terjadi. Versi lebih canggihnya, SISCOM, menggabungkan hasil SPECT dengan MRI untuk hasil yang lebih detail.
- Tes Neuropsikologi: Tes ini menilai kemampuan berpikir, memori, dan bicara. Hasilnya membantu dokter mengetahui area otak mana yang mungkin terganggu akibat kejang.
2. Electroencephalography (EEG)
EEG adalah pemeriksaan utama untuk epilepsi karena langsung merekam aktivitas listrik otak. Dengan cara ini, dokter dapat melihat adanya aktivitas listrik abnormal yang menjadi pemicu kejang.
- EEG Rutin: Pemeriksaan ini menggunakan elektroda kecil yang dokter tempelkan di kulit kepala untuk merekam gelombang otak selama beberapa menit hingga jam. Hasilnya dapat menunjukkan jenis dan lokasi kejang yang dialami pasien.
- EEG Berkepanjangan (Prolonged EEG): Jika EEG rutin tidak menunjukkan hasil, pasien mungkin perlu menjalani EEG dengan pemantauan video di ruang khusus selama beberapa hari. Metode ini merekam aktivitas otak sekaligus video untuk melihat gejala yang muncul saat kejang terjadi.
3. Tes Wada
Tes Wada biasanya jika seseorang direncanakan menjalani operasi epilepsi. Cara ini bertujuan untuk memprediksi dampak operasi terhadap fungsi bahasa dan daya ingat pasien.
Hasil dari tes ini akan membantu dokter menentukan jenis operasi yang paling tepat untuk mengendalikan kejang. Selain itu, tes ini juga memastikan agar bagian otak yang berhubungan dengan bicara, memori, dan fungsi berpikir tetap terjaga.
4. Tes Neurologi
Pemeriksaan neurologi untuk melihat seberapa baik fungsi otak dan sistem saraf bekerja. Tes ini biasanya menilai kemampuan berpikir, fungsi tubuh, serta panca indera.
Jika ada gejala yang mencurigakan sebagai kejang, biasanya pasien akan dirujuk ke dokter spesialis saraf (neurolog). Dokter ini akan melakukan pemeriksaan menyeluruh untuk mengetahui apakah ada bagian otak yang tidak berfungsi dengan normal.
Dalam pemeriksaan neurologi, biasanya dokter akan:
- Menanyakan keluhan atau gejala yang pasien alami terkait gangguan otak.
- Menguji fungsi otot, panca indera, dan refleks, serta melihat masalah pada cara berjalan atau keseimbangan.
- Melakukan tes fungsi mental, seperti mengingat kata, menghitung, atau menyebut nama benda.
Bahkan saat pasien sedang berbicara, dokter bisa sekaligus menilai suasana hati, cara berpikir, bahasa, gerakan mata, ekspresi wajah, kekuatan tubuh, dan koordinasi. Pemeriksaan ini dokter lakukan dengan sangat detail agar tidak ada tanda gangguan yang terlewat.
Baca Juga: Epilepsi pada Bayi, Tanda dan Cara Mengatasinya
Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Perawatan
Penyakit epilepsi membutuhkan perhatian khusus dari keluarga maupun orang di sekitarnya. Hal ini karena gangguan kesadaran bisa terjadi kapan saja dan di mana saja sehingga risiko kecelakaan saat epilepsi kambuh cukup tinggi.
Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan beberapa hal berikut:
- Minum Obat Secara Teratur: Pastikan penderita epilepsi mengonsumsi obat sesuai anjuran dokter. Penghentian obat secara tiba-tiba dapat memicu kambuhnya kejang.
- Faktor Penyebab yang Harus Anda hindari: Hindari berbagai faktor pemicu epilepsi, seperti kelelahan, kurang tidur, perubahan hormonal, demam, stres, maupun konsumsi alkohol.
- Rutin Kontrol Ulang: Lakukan kontrol kesehatan secara teratur dengan dokter spesialis saraf untuk memantau kondisi dan menyesuaikan pengobatan bila perlu.
- Epilepsi pada Kehamilan: Kehamilan pada perempuan dengan epilepsi tergolong kehamilan risiko tinggi. Epilepsi maupun obat yang dikonsumsi dapat berdampak pada kehamilan serta perkembangan janin. Oleh karena itu, perlu penanganan khusus dari dokter spesialis kandungan dan saraf agar ibu hamil penyandang epilepsi tetap aman selama kehamilan.
Baca Juga: Ketahui Perbedaan Dokter Saraf dan Dokter Bedah Saraf
Jika Anda atau orang terdekat Anda mengalami gejala kejang berulang, kehilangan kesadaran, atau perubahan perilaku yang tiba-tiba, segera konsultasi ke dokter. Anda bisa kunjungi rumah sakit Ciputra Hospital terdekat untuk konsultasi kesehatan.
Anda juga bisa konsultasi dan buat janji dengan dokter di Ciputra Hospital terdekat. Cek layanan rumah sakit Ciputra Hospital mulai dari rawat jalan hingga Medical Check Up (MCU) selengkapnya sekarang juga.
Telah direview oleh dr. Devi Virnayanti, Sp.S
Source:
- Mayo Clinic. Epilepsy. September 2025.
- Hopkins Medicine. Diagnosing Seizures and Epilepsy. September 2025.
- Epilepsy. Neurological Exam. September 2025.